MAKNA
HARI
RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN
OM SWASTYASTU
A. Pengertian
Galungan adalah
hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan
Dharma melawan Adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan
"Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan itu
dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap
210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta
Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Buda (Rabu), dan
wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
Kata
"Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau
bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga
berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan,
sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya
berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara
ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk
memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya
Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah
lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas
Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama
dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di
Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung
Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar
Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada
sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa,
Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan,
tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci
Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.
Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan
terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini
dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar
pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu
terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga
belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama
Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para
pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi
mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah
Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23
tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam
lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja
dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui
penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi
di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan
diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh
dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri
Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari
Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha
menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak
lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri
Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai
dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya
seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari
sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan
Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk
melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan
lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu,
Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
B. Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah
suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan
mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi
atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga
memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura
sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari
bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki
kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah
juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual
dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma
melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian
upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama
dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon
Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang
maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon
Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan
pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti
Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian
yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma
dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep)
adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah
didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma
melawan adharma.
Untuk memenangkan dharma
itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan.
Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di
sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana
agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari
Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama
disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa
kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari
penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan
upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di
masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang
disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya
menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali
disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta
berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada Redite Paing
Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia.
Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya:
mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu
juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak
akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin
Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang
yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning
sang ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan
disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk
mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala
yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini
menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada
hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Demikian urutan
upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis
Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang
betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan
dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga
mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya
adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini,
dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa
kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat
dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara
tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat
Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama
tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan
kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana
(lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut
Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan
sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari
menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para
Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur
mwah maring Swarga).
Demikianlah makna
Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.
C. Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan
itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib melaksanakan,
ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan
lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya
tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan
Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Galungan Nadi
Galungan yang
pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali
Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat
(Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan
Oktober.
Disebutkan dalam
lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra
Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu.
Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan
kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau
upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan
melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara
hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka
melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena
ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang
Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau
yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama
disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang
lebih setiap 10 tahun sekali.
2. Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara
Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam
lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
"Yan Galungan
nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9,
Galungan Nara Mangsa ngaran."
Artinya:
Bila Wuku Dungulan
bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan
sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada
menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara
ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning
sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang
ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten
tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih
Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru
ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya
manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah petunjuk
Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga
tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan
dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau
namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi
tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya
dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan
upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila
tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar)
kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua
sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan
Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari
Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang
artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan
Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh
karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan
sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng
Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan
caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian
pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali
biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar
dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan
adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan
oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada
adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
D. Galungan di India
Hari raya Hindu
untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan
dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan
besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau
direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat
dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata
"Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya
"menang".
Hari Raya Wijaya
Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya
Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum
puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara
yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu
dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh
pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai
spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah
dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa
kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya
Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya.
Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April).
Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri.
Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan
adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha)
mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti.
Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di
India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu
diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India
adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya
kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering
diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha
Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia
berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya.
Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang
Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara
Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama
Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama
sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada
bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan
hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami
atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di
mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat
ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan
tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan
pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama,
Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari
atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di
atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian
rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu
langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang
yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman
mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi
keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan
mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak
makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan
April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang
bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu
"sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan
adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada
Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung
dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya
Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan
perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk
memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya
kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir
batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan
hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan
setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap
orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat
diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
OM
SANTIH,SANTIH,SANTIH OM
Semoga Bermanfaat
Makalah Oleh Ni Made Adnyani, S.Ag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar